#109# RAINA'S RAIN (Part 5)

“Kita mampir ke toko es Cream dulu ya Rai, nyantai disitu dulu deh, aku dari kemarin pengen banget.” Akhirnya Guntur menghentikan kendaraannya di depan sebuah toko menjual es Cream. 

Kami duduk dan memesan dua es Cream dengan rasa yang berbeda. Guntur memesan Es Cream dengan campuran kopi, sedang aku memesan es cream dengan topping keju diatasnya. Kali ini aku merasa dekat sekali dengannya. Dia pun sama, tidak canggung meminta dan menyantap es cream yang aku pesan. Mungkin sekarang kami sudah akrab karena sudah sering jalan bersama. Baguslah, gak enak aja gitu kalau keduanya saling diam.

“Guntur, boleh nanya sesuatu gak?” Tanyaku pelan-pelan. Aku ingat pesan Bang Raihan. Saat ditanyakan mengenai kabar Papanya, dia selalu menunjukkan wajah yang kurang bersahabat. Aku harap sikap yang ditujukan kepadaku gak sama dengan yang ditujukan kepada Bang Raihan.

“Boleh aja, mau Tanya apa Rai?” Guntur memang tipe orang yang menghargai siapa yang menjadi lawan bicaranya. Jika ada orang yang mengajaknya bicara, mata nya tak pernah lepas memperhatikan dengan seksama. 

“Bagaimana kabar Om Guruh dan Tante Wati?” aku memberanikan diri bertanya tentang pertanyaan yang selama ini dipertanyakan oleh kami sekeluarga. Seperti dugaanku, pertanyaan itu terlihat sekali membuatnya tak enak hati. Aduh, apa aku salah tempat ya, kenapa mimik muka ni cowok jadi berubah?. Aku bimbang, antara meneruskan pertanyaan atau tidak. 

“Eh gimana dengan es creamnya? Enak khan.” Ia mengalihkan perbincangan. Memang sangat aneh, ketika pertanyaan itu kulontarkan, yang seharusnya jawabannya bukan jawaban yang sulit, tapi kenapa di mulut seorang Guntur jawaban itu sangat sulit didapatkan. Aah, aku telah berkomitmen untuk bertanya dan mengetahui sebabnya. Akhirnya tetap aku lontarkan kembali perntanyaan itu.

“Pertanyaan ku belum kamu jawab, bagaimana kabar om Guruh dan Tante Wati? Mereka baik-baik aja kan?” Aku mendesak lelaki di hadapanku ini. Aku tak perduli, karena menurutku bukan sebuah pertanyaan yang salah.

“Mama ku baik-baik saja, sehat alhamdulillah.” Ujarnya menjelaskan. Aku sedikit lega mendengar dia mau menjawab pertanyaan tentang ibunya. Lalu Papa?

“Papa sudah meninggal dalam kecelakaan saat papa pergi dinas keluar kota. Mobil yang dikendarainya jatuh ke jurang. Dan sampai sekarang mayatnya tidak diketemukan, dan itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu Rai.” Lelaki itu tertunduk. Aku melihat pertahanannya goyah, jauh terdengar suara isak tangis seolah ditahan sekuat tenaga. Aku hanya bisa diam, ingin menghiburnya tapi tak tahu harus seperti apa. Hanya mampu memberikan nya sehelai tisu dan ia terima sambal senyum terpaksa.

“Innalillahi wa Innailahi rojiun, kenapa kamu gak pernah cerita sama kami, Bang Raihan pernah bilang bertanya padamu, tapi seolah kamu gak mau menjawab, Bang Raihan jadi gak enak saat itu.” Aku berupaya menjelaskan kepadanya tentang maksudku. Bukan ingin membuka luka lama yang belum tentu kering. 

“Aku minta maaf ya Guntur.” Sedikit agak ragu aku meletakkan tangan dan menepuk pundaknya dengan maksud menyabarkan. Belum sempat aku lepas tanganku dari pundaknya, Guntur meraih tanganku dan menggenggam erat. 

“Rai, kamu mau jadi seseorang tempat aku berbagi kesedihan, kesenangan dan banyak hal?” Aku tak bisa melepaskan genggaman tangan itu. Genggaman itu terasa sangat kuat. Gambaran seseorang yang benar-benar membutuhkan pertolongan. Aku hanya bisa menganggukkan kepala dan berucap sepatah kata. Iya aku akan berusaha menjadi sahabat yang baik.

***

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku harus segera pulang. Guntur mengantarkanku sampai rumah. Banyak hal yang telah kami bicarakan berdua. Kami sempat singgah di warung makan, di masjid, dan tempat nongkrong sebagian anak muda di kota ini. Setiba di depan rumah, pintu terbuka. Bang Raihan yang muncul dari balik pintu. 

“Hei Guntur, Raina. Kalian darimana?” Tanya Bang Raihan pada kami berdua. Guntur memang lelaki yang bertanggung jawab. Ia meminta maaf karena telah mengajak adiknya pergi berdua. 

“Sorry Bro, aku tadi ngajak Raina pergi, karena tadi sore kalian semua gak ada di rumah. Tadi pengen silaturahim sama Om Priyo dan tante, berhubung mereka pergi ya sudah aku ajak jalan keluar saja Raina, gak apa-apa kan?” Guntur menjelaskan semuanya. Bang Raihan menatapku dan aku hanya mengangguk membenarkan. Bang Raihan dalah seorang kakak yang sangat percaya terhadap adiknya. Tidak marah, bahkan mengajak Guntur masuk ke rumah untuk bertemu mama dan papa.

“Maaf bro, karena hari sudah malam, mungkin lain kali saku bersedia dating lagi untuk menemui oom dan tante. Aku pamit ya Raina, Raihan. Assalamualaikum.” Dia pergi dan aku tetap tak beranjak sampai melihat bayangan dam sosoknya sudah lepas dari pandangan.

Malam ini adalah malam penuh dengan kejutan. Siapa yang menyangka komitmen persahabatan antara aku dan Guntur dideklarasikan. Kami berjanji untuk saling menjaga dan mengasihi serta menghargai persahabatan. Aku segera berbenah. Membersihkan diri dan segera beranjak ke tempat tidur. Hatiku berdesir. Entahlah apa yang telah terjadi. Yang jelas bahagia.


Masih panjang perjalanan kisah Raina, terus dipantau ya. Hihi ๐Ÿ˜

#TantanganCerbungOdop4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#126# AKHIR PERJALANAN (Travelling ke Kalsel - Part 7)

#119# "TRAVELLING" KE KALIMANTAN SELATAN (Part 2 - Rainy's Day Literari Festival)

#117# DIBANGUNIN SAMA BANTAL