JATUH HATI (LAGI)
Jatuh hati tak pernah
salah tempat, namun tak semua hati adalah tempat yang tepat.
“Sepertinya
kita gak bisa melanjutkan hubungan kita ini Nu, Aku menangkap ada keraguan dari
keluargamu terutama Mamah mu, buat apa kita melanjutkan hubungan jika ada yang
kurang berkenan.” Ujarku mengakhiri pembicaraan via telepon.
Jika
teringat kejadian itu, rasa-rasanya air mata ini mau keluar saja. Aku patah
hati, sangat patah hati. Danu, seorang yang sangat aku harapkan untuk menjadi
imam di masa depanku, sepertinya harus kandas begitu saja. Restu ibunya aku
ragukan kebenarannya, pasalnya suatu hari aku menangkap sebuah sikap yang
tiba-tiba jadi aneh. “Apa sebaiknya Rere fikirin lagi matang-matang rencana
pernikahan ini, apa memang kalian sudah sama-sama merasakan kecocokan jika
hidup bersama?” pertanyaan yang sungguh aneh kurasa, padahal hubungan ini sudah
cukup lama berjalan. Waktu 3 tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk membangun
kebersamaan.
***
Re, boleh bicara
sebentar, ada yang ingin aku sampaikan, penting sekali.
Suatu hari aku dapati sebuah SMS dari seorang kawan. Danu??, kok tumben banget ni anak SMS begini, biasanya langsung ngomong
aja. Aku membatin, secara singkat aku balas sms dari Danu. Iya Nu, ntar begitu jam pulang kuliah aku
tunggu di tempat biasa ya. Sent.
“Jadi
selama ini kamu punya perasaan tertentu terhadap ku? Kenapa baru bilang
sekarang Nu?” Aku cukup terkejut mendapatkan pernyataan cinta dari seorang
kawan yang sudah lama aku kenal. “Hmm, Iya itu karena aku takut Re, takut kalau
kamu gak punya perasaan yang sama.” Danu tertawa setelah mendengar jawaban ku.
Ya, aku menerima cintanya, karena selama ini aku memang punya perasaan yang
sama.
“Re,
aku minta maaf, ternyata mamah selama ini telah punya janji dengan teman
baiknya untuk menikahkan aku dengan anaknya, pada mulanya mamah juga sudah
setuju denganku untuk mengatakan pada temannya itu bahwa aku telah memilihmu,
ternyata sebuah kejadian membuat semuanya berubah. Temannya mamah telah
meninggal dunia seminggu yang lalu. Anaknya sekarang tinggal sendiri. Mamah
merasa berhutang budi dengannya selama ini, karena dulu ia dan keluarganya yang
menampung mamah untuk tinggal dirumahnya saat mamah dulu masih berkeliaran di
jalan. Ayahnya yang membawa mamah untuk tinggal disana. Maafkan mamah ku Re,
dan aku mohon maaf karena sepertinya aku terpaksa memilih menuruti keinginan
mamah, semoga kamu mengerti.” Danu berlalu dari hadapanku setelah mengutarakan
apa yang ada dalam hatinya. Apa yang bisa aku lakukan, apa aku harus marah?
Sama siapa? Mamahnya? Itu semua adalah hal yang mustahil aku lakukan. Sekarang
aku hanya bisa menangis, aku benar-benar merasakan patah hati.
***
“Assalamu’alaikum
Cut Rere, nong duluan ya,” sapa seorang gadis Aceh bernama Sarah yang aku kenal
6 bulan yang lalu. Bertemu dengannya rasanya seperti menemukan obat yang pas
untuk sakitku. Waktu itu aku bertemu saat aku menangis di sudut masjid kampus,
ia menghampiri dan mendengarkan semua kisahku. “Buat apa cut menangisi
semuanya, memang begitulah jodoh Cut, dia yang bersama kita dan perkiraan kita
dia adalah jodoh kita, belum tentu semua itu, dan maaf Cut, terlebih jika
proses mencari jodoh itu dengan berpacaran. Islam mengajarkan untuk menjaga
hubungan antara lelaki dan perempuan. Tidak ada pacaran dalam islam. Lebih baik
Cut mulai sekarang tidak usah berpacaran lagi, mending ikut nong untuk
bantu-bantu kegiatan mesjid kampus.” Ajaknya.
Sekarang
aku menikmati hijrah ini, tidak berpacaran dengan siapapun, bahkan sekarang aku
disibukkan dengan kegiatan keagamaan, seperti majelis Ta’lim dan beragam
kesibukan lain. Pacaran rasanya gak ada waktu lagi, hehe.
“Cut
Rere, apa siap menikah? Kalau dilamar seseorang apa siap menerima?” Suatu hari
Nong Sarah mengejutkanku dengan pertanyaan berantai darinya. “Hmm, insya Allah
siap Nong, tapi sama siapa? Hehehe, belum ketemu jodohnya nong, wkwkw” Aku
hanya menjawab sekenanya. Memang kenyataannya demikian. Ah, aku serahkan saja
urusan jodoh kepada Allah, toh Ia menciptakan segala sesuatu berpasangan. Pasti
aku juga ada pasangannya. Heheh.
“Hmm,
kalau misal ada seseorang yang berkeinginan berta’aruf sama Cut, apa mau?” Wah,
kayaknya ni pertanyaan mulai ke arah serius. “Hmm, siapa Nong yang mau mengenal
diri saya, sedang semua orang di kampus ini tau bagaimana saya dulu. Heheh, Ah
saya gak berani berandai-andai Nong Sarah.”
“Afwan
ya Cut Rere, kalau Cut emang bersedia, Nong punya seseorang yang berkeinginan
untuk Ta’aruf sama Cut. Dia sebenarnya sudah lama berkeinginan, Cuma Nong belum
bersedia karena Nong masih merasa Cut masih merasakan luka yang dulu. Tapi
kalau sekarang, Nong yakin Cut sudah berubah.” Nong Sarah panjang lebar
menjelaskan perihal Ta’aruf tadi.
“Hmm,
oiya?? Bismillah Nong, kalau memang ada yang berkeinginan, Cuma saya hanya
ingin sesuai dengan yang diatur oleh Islam, saya tidak mau kembali seperti dulu
lagi, udah kapok, hehe.” Ujarku menyetujui.
***
“Nah,
perkenalkan Cut Rere, ini abangnya Nong, Namanya Abang Hafiz. Abang selama ini
tak pernah berpacaran, sejak pulang dari mondok di Bandung sekarang Abang
melanjutkan studi di Jakarta. Abang juga berniat mencari seorang isteri, bukan
seorang pacar, silakan jika ada yang mau kalian tanyakan masing-masing.” Nong
Sarah menjadi perantara Ta’aruf kami. Laki-laki di hadapanku ini begitu santun,
tak sekalipun ia menatap mataku dengan lama, hanya sesekali kemudian
menundukkan pandangannya.
“Maaf,
saya sudah membaca Curiculum Vitae Ukhti Rere, saya rasa kita punya visi dan
misi yang sama dalam membangun rumah tangga, sekiranya ukhti bersedia maka saya
akan menyiapkan segala sesuatunya untuk mengkhitbah ukhti segera. Saya juga
membuka kesempatan kepada ukhti jika mau menggali informasi tentang saya, bisa
ditanyakan langsung atau lewat Nong Sarah adik saya.” Suara lelaki itu begitu
tegas dan serius. “Iya Akh Hafiz, saya juga sudah berlaku hal yang sama, segala
informasi sudah saya dapatkan. Keputusan saya insya Allah juga sudah saya
yakini, silakan Akh Hafiz dan Nong Sarah menyampaikan keinginan langsung kepada
Ayah di rumah. Karena restu dari Ayah dan Ibu adalah sangat penting bagi saya”.
Ujarku menutup pertemuan menegangkan itu.
Hari
yang aku tunggu akhirnya tiba, bersanding bersama seorang yang baru saja aku
kenal. Seseorang yang dikirimkan Allah untukku. Benar kata Nong Sarah, jika
kita mencari dengan jalan yang baik, maka Allah akan mudahkan segalanya. Terima
Kasih Nong Sarah sudah menjadi perantara Ta’arufku. Teruntuk Suamiku, aku jatuh
hati padamu. Kali ini insya Allah jatuhnya pada hati yang tepat, hehehe.
Nong :
Adik dalam bahasa Aceh
Cut :
Kakak dalam bahasa Aceh
Akhi :
Saudara Laki-laki
Ukhti : Saudara PerempuanYeaaah, ini adalah cerpen kesekian yang berhasil lolos dalam event bertema Ta'aruf. Semoga ke depan, kualitas dan cara menulis jadi semakin baik. Semangat Literasi.
Komentar
Posting Komentar