#107# RAINA'S RAIN (Part 3)

Siang ini begitu terik. Baju yang kupakai sudah bermandikan keringat. Sejenak pandangan mataku tertuju pada jam tangan warna ungu yang melingkar ditangan kiri. 

Jarum panjangnya menunjukkan angka Sembilan, dan jarum pendeknya hampir mendekati angka tiga. Alamak, seketika aku tersadar bahwa harus segera pergi karena ingat dengan tugas kelompok perkuliahan di rumah Yoan. Aku mengacungkan tangan dan bergerak mendatangi Bang Raihan yang kebetulan siang ini mendapat tugas melatih kami. 

“Bang Raihan, Raina izin ya bang, ada kerja kelompok di Rumah Yoan.” Aku meminta izin dan tentu saja Bang Raihan meng-iyakan. Salah satu janji yang pernah aku ucapkan dengannya bahwa salah satu syarat aku boleh melanjutkan basket lagi adalah tidak menyepelekan studiku. Aku memang bukan anak yang cerdas seperti Bang Raihan, tapi juga tidak bodoh banget. Nilai di atas rata-rata lah, namun belum pernah dapat penghargaan sebagai pelajar berprestasi dalam hal akademik, tak terkecuali Bang Raihan. Sejak SMA pun dia sudah sering dikirim sekolah untuk mewakili dalam beberapa kompetisi dan selalu pulang membawa piala. 

Selepas meminta izin padanya, aku turut serta pamit kepada anggota team yang lain, dan tentu saja, Guntur. Aku bersegera mengambil tas dan buru-buru pergi. Khawatir terlambat ke rumah Yoan, karena aku harus ke toko buku dulu untuk membeli buku yang menjadi referensi mata kuliah kami. Namun tiba-tiba, suara berat dari si “Hamish Daud” terdengar memanggil namaku.

“Rai, tunggu bentar.” Aku menoleh dan berhenti untuk menunggunya yang sedang berlari ke arahku. 

“Kenapa Tur, aku harus buru-buru pergi karena ada jadwal kerja kelompok bersama Yoan.” Aku menjelaskan padanya alasanku pulang latihan lebih awal.

“Aku antar ya, kebetulan aku juga mau pulang lebih awal, karena ada yang mau dicari juga di toko buku. Kamu mau ke toko buku mana Rai? Yang di seberang jalan dekat simpang empat lampu merah bukan? Ayo bareng aku aja.” Guntur memaksa agar aku ikut dengannya. Sebenarnya aku menolak, karena gak mau merepotkan dia, dan lagi lebih nyaman naik angkot. Tapi dia tetap bersikeras bahkan menarik tanganku dan berjalan kearah sepeda motornya. Aku hanya menurut. Aduh, kedua kalinya dia bersikap memaksa dan aku tak bisa berbuat apa-apa pada si “Hamish Daud”.

Sepanjang perjalanan menuju toko buku, kami berdua hanya terdiam. Tak ada sepatah kata pun sebagai pemecah keheningan sampai akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Di dalam toko buku, Guntur mulai menyapaku. Menanyakan buku apa yang hendak kucari. Setelah kujelaskan kami saling diam lagi. Entahlah, bibir ini juga berasa berat untuk mengeluarkan pertanyaan basa basi. Lama-lama aku tidak nyaman dengan situasi ini. 

“Sudah dapat buku yang kucari. Kamu gimana Tur, udah ada bukunya?” Tanyaku basa-basi padanya. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Sebenarnya gak juga basa-basi, karena sedari tadi aku tak melihat dia memilih buku. Hanya berjalan menemaniku sambil sesekali membaca dan membuka beberapa buku. Sebenarnya ini orang niat cari buku juga apa gak sih. Aku membatin. 

Dia terus berjalan disampingku. Sampai di tempat kasir, tiba-tiba karena bunyi dering telpon, aku terkejut dan tanpa sengaja menjatuhkan handphone dan buku yang akan aku bayar.  Guntur membantuku mengambilkan buku itu. Kedua tangan kami bersentuhan. Dalam beberapa hitungan kami saling bertatapan. Kami saling melepaskan pegangan ketika seorang bapak di belakangku yang juga sedang antri membayar berdehem, seolah menyadarkan kami. Malu banget rasanya. Sesegera mungkin aku memungut handphone yang juga sempat jatuh dan bersegera membayar buku yang ingin aku beli.

“Siapa yang menelpon tadi Rai?” Guntur mulai mengajakku bicara.

“Yoan kayaknya, tadi sempat lihat nomor contact yang telpon, tapi karena HP ku terjatuh, handphone nya mati, bentar ya aku telpon dia dulu.” Aku menghentikan langkah dan berhenti pada sebuah sudut di tangga toko buku. Sedang Guntur berdiri di belakangku sedikit agak jauh. Barangkali saja tidak ingin dianggap menguping pembicaraan kami, makanya dia menjauhkan diri.

“Hmm Tur, ternyata rencana belajar kelompok kami batal, karena Yoan tiba-tiba ditelpon dengan Tantenya minta ditemani ke Rumah Sakit. Suami Tantenya sedang sakit, jadi mau gak mau rencana kami batal deh.” Terlihat raut sedih di wajahku, karena memang itu artinya belajar kelompoknya ditunda, dan akan juga menggeser jadwal latihan basket. Tapi aku gak mau egois, pasti Yoan juga lebih sedih, secara Om nya, adik dari Papa nya sedang berada di Rumah Sakit sekarang. 

“Oh, kalau begitu, kita jalan-jalan aja Rai, makan es Cream yuk, ada toko es cream baru di Mall.” Guntur mengajak dengan penuh harapan. Aku sempat menolak tawarannya, tapi ia terus memaksa. Aku jadi gak enak. Tapi ya sudahlah, lagian aku juga gak ada agenda lagi setelah ini. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi makan es cream. 

Orang yang sedang jatuh cinta, punya Bahasa sendiri untuk berkomunikasi (Bang Syaiha dalam novelnya yang berjudul “Masih Ada”). Apakah aku mencintaimu?


Hmm, dah mau ke part 4 neh, masih semangat ??

#TantanganCerbungOdop4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#126# AKHIR PERJALANAN (Travelling ke Kalsel - Part 7)

#119# "TRAVELLING" KE KALIMANTAN SELATAN (Part 2 - Rainy's Day Literari Festival)

#117# DIBANGUNIN SAMA BANTAL