SIAPA DIA??

Sudah enam bulan sejak dimulainya pelaksanaan coas, Akhirnya aku bisa merasakan kehidupan di Kalimantan.  Jauh dari orang tua dan beberapa kawan dekat demi sebuah perjuangan untuk mendapatkan gelar akademis.

“Apa gak salah Dit, mengambil coas nya di Kalimantan? Jarak Kalimantan dan Sumatra cukup memakan banyak waktu nak,” Ujar ibunya suatu hari. “apa gak sebaiknya di sekitaran Sumatera saja nak?”. Tampaknya memang, ibu agak keberatan soal rencana coas ku. Dan lagi selama ini sepertinya ibu terlalu memikirkan omongan banyak orang tentang Kalimantan.

“Kalimantan itu jauh kali Mak Minah, terlebih banyak kali ku dengar perkara mistisnya.”  Pernyataan seorang tetangga makin membuat Ibuku khawatir saja. Meskipun demikian, akhirnya ibu tetap mengizinkan keberangkatanku ke Kalimantan. Bukan tanpa sebab sebenarnya aku memilih Kalimantan sebagai tujuan utama. Disana ada seorang sahabat pena yang sangat ingin kutemui. Lagian sebenarnya, tempat tugasku bukanlah sebuah tempat yang terpencil. Namun memang termasuk sebuah tempat dengan beberapa kasus yang berkaitan dengan kesehatan, sehingga aku merasa sangat pas sekali jika coas kali ini berada disana. Yah, anggap saja sekalian pengabdian atas nama sebuah profesi yang sudah dipilih.

Praktek di sebuah Rumah Sakit, langsung terjun berhadapan dengan pasien, membuat aku merasakan tantangan berbeda. Selama ini, aku belum pernah mendapatkan pengalaman yang luar biasa selama aku menjalani profesi ini. Utamanya berkaitan dengan hal yang sangat dikhawatirkan oleh ibuku. Apalagi kalau bukan hal-hal berbau mistis.

Suatu hari, aku mendapatkan shift malam dalam tugasku. Saat itu aku memang sangat merasa lelah, karena sehari sebelumnya full dihadapi dengan banyak pasien. Rasa lelah menggelayuti, kantuk apalagi. Hingga akhirnya aku putuskan untuk refreshing keluar sebentar untuk sekedar menghirup udara malam dengan berjalan-jalan di halaman. Pohon-pohon besar, dan angin malam cukup membuat suasana semakin menakutkan. Kaki kulangkahkan menuju sebuah pantry Rumah Sakit. Niatnya ingin mencari sesuatu disana. Yah, aku fikir sekedar membuat secangkir kopi siapa tahu bisa mengurangi rasa kantukku. Tiba disana tak kudapati seorang pesuruh pun untuk dimintai tolong. Hingga akhirnya aku membuat secangkir kopi sendiri.

Beberapa menit kemudian, aku memutuskan untuk kembali ke ruangan. Di perjalanan menuju ruangan, aku bertemu dengan seorang kakek tua sedang duduk di depan kamar ruang rawat inap. Kulihat bapak itu sedang santai menikmati udara malam. Karena melewati beliau, akupun menyapanya.

“Wah belum tidur pak,? Sudah malam sekali ini.” Sapaku padanya.
“Saya sedang menikmati udara malam dok, sepi dan hening adalah sesuatu yang sangat saya suka.” Ujar kakek tua itu. Cukup aneh memang untuk orang seusia dia. Bukannya angin malam adalah “penjahat” bagi orang-orang yang sudah lanjut usia seperti dia. Akhirnya aku memutuskan untuk duduk menemani dia sambil berbincang.

“Boleh saya duduk disini, pak? Barangkali kita bisa mengobrol sebentar. Kebetulan saya juga sedang cari angin, heheh.” Aku mencoba berakrab ria dengannya. Seperti dugaanku, Bapak tua itu menerimaku dengan sangat ramah. Akhirnya kamipun terlibat dalam sebuah perbincangan.

“Siapa yang sakit pak?, Bapak asli sini?” Aku memulai bertanya padanya.
“Yang sakit istri saya dok, sudah beberapa hari ini, penyakit jantungnya kumat. Karena anak-anak saya sudah dengan kehidupannya masing-masing, ya saya harus pengertian juga.” Penjelasan yang cukup panjang darinya. Karena larut terbawa suasana, aku pun secara tak sadar bercerita panjang lebar dengannya. Menceritakan kehidupan pribadiku, keberadaan ibuku di Sumatra, hingga keberatan ibu melepas ku bertugas di Kalimantan.

“Yah, begitulah pak, ibu saya sangat khawatir saya tugas di Kalimantan, katanya Kalimantan dikenal masih sangat banyak hal-hal mistis yang terjadi. Dengan bujukan akhirnya dapat izinnya juga, heheh.” Sesungguhnya ngobrol dengan bapak tua ini, membuatku sedikit merasakan sesuatu yang aneh. Entah kenapa aku merasa dingin sekujur tubuhku. Ah, bisa jadi karena memang ini sudah malam sekali, sehingga angin malam semakin lama semakin dingin.

“Wah, saya sudah terlampau lama disini pak, saya harus segera bertugas kembali, khawatir tiba-tiba ada pasien di UGD, kalau begitu saya kembali dulu pak, lebih baik bapak segera beristirahat agar tidak sakit.” Akhirnya aku berpamitan dengannya. Baru beberapa langkah, aku teringat dengan secangkir kopi yang sempat aku letakkan di atas tempat kami duduk-duduk bersama tadi. Hampir saja tertinggal.

“Hei, kemana bapak itu? Oh mungkin dia sudah masuk ke kamarnya” dan akupun segera pergi menuju ruang UGD tempat aku bertugas.

***

“Seriusan, kamu melihat dokter Aditya bicara sendiri di depan ruang Anggrek? Gak ada temannya?” Grasak-grusuk obrolan beberapa orang perawat di ruang UGD menarik perhatianku.

“Hmm, maksud suster apa? Saya tadi malam memang sempat ke ruang Anggrek, karena semalam saya ngantuk sekali dan ingin membuat kopi di Pantry, selepas dari sana, saya memang mengobrol dengan seorang bapak tua di depan kamar seorang pasien. Jadi saya mengobrol ada teman ngobrolnya sus.” aku tertawa saat menjelaskan perihal kejadian semalam dengan beberapa orang perawat.

“Maaf dok, sebenarnya saya melihat sendiri dokter bicara dengan diri dokter sendiri. Saya tidak mengada-ngada dok.” Ujar perawat itu.

“Ah, kamu salah sus, ayo ikut saya bertemu dengan bapak tua itu.” Segera aku ajak mereka bertemu dengan bapak tua semalam. Yah, aku merasa tidak enak saja, masa iya aku bicara dengan diriku sendiri, jangan-jangan aku dikira gila, heheh.

Sesampai di depan ruang rawat inap yang semalam aku lewati, aku pun segera bertanya dengan seorang lelaki yang aku taksir usianya sekitar empat puluh tahun.

“Maaf, apa saya bisa bertemu dengan Pak Haji Kadri, beliau semalam ngobrol bersama saya disini, apa beliau sedang tidak ada?” Tanyaku pada lelaki itu. Yang aku heran, lelaki itu terdiam beberapa waktu. Setelah aku tegur kembali baru dia tersadar.
“Mohon maaf dok, kapan dokter bertemu dengan pak haji Kadri?” tanyanya.

“Semalam pak, sehabis saya datang dari pantry membawa kopi. Diperjalanan kembali ke ruang UGD saya bertemu beliau dan sempat mengajaknya bicara. Katanya beliau sedang menunggu isterinya yang sedang sakit jantung. Anak-anaknya tidak bisa menjaga ibunya, karena sudah memiliki kehidupan sendiri, begitu yang beliau sampaikan kepada saya.” Ada apa sebenarnya, kenapa seolah lelaki itu bingung.

“Mohon maaf dok, Pak Haji Kadri itu memang ayah saya, namun beliau sudah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu, karena sakit stroke. “

Aku hanya bisa terdiam, gemetar seluruh badanku. Jika bukan pak haji Kadri yang kutemui semalam, lalu dia itu siapa? 


Pic : Ceritakitahoro.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#126# AKHIR PERJALANAN (Travelling ke Kalsel - Part 7)

#119# "TRAVELLING" KE KALIMANTAN SELATAN (Part 2 - Rainy's Day Literari Festival)

#117# DIBANGUNIN SAMA BANTAL