#186# REACHING THE GOAL IN MY LIFE (PART-1)

Tak terasa sudah hampir 13 tahun menjadi bagian dari keluarga besar Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Timur. Salah satu instansi pemerintah di negeri ini yang menjadi jalan “pembuka” mimpi-mimpi kecil saya.  Bermula dari “coba-coba” ikut mendaftar seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di tahun 2006. Kenapa saya mengatakan “coba-coba”? Memang benar adanya. Seleksi yang saya ikuti waktu itu adalah seleksi saya yang ketiga kalinya. Wuiih, ternyata sudah beberapa kali mencoba dan mengatakan hanya “coba-coba”? Hmm. Agak janggal terdengarnya, hehe. Yang mau tahu kisah perjalanan saya dari awal hingga sekarang menjadi bagian dari keluarga besar BPS, yuk disimak.

https://bulelengkab.go.id
BIMBANG MEMILIH SEKOLAH
Sekitar tahun 2001-2002, di saat saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama di kelas 3, saya bisa dibilang tergolong siswa yang biasa saja, tidak mencolok dengan prestasi yang wah, namun juga bukan siswa yang “bodoh” juga, hehe yang sedang-sedang saja lah ya. Ketika mulai masuk di tingkat 3, semangat belajar saya mulai meningkat. Maklum saja, tingkat akhir memang selalu memberikan “mimpi-mimpi” buruk bagi tiap siswa, karena disinilah masa penentuan keberhasilan bagi kita. Apakah kita bisa masuk untuk melanjutkan ke sekolah impian atau justru sekolah impian hanya tinggal angan.

Masa itu akhirnya datang juga. Hari dimana pengumuman kelulusan bagi kami. Alhamdulillah, dengan segala kebaikan dari Allah, saya bisa menjadi bagian dari siswa-siswa yang lulus dan bahagianya lagi karena mendapatkan Nilai Ebtanas Murni (NEM) saat itu cukup membanggakan. Nilai saya sangat baik. Sampai-sampai jika ingin melanjutkan sekolah kemana saja di kota saya kemungkinan besar pasti diterima.

Kalau beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan oleh “Galaunya” seorang Maudy Ayunda dalam memilih sekolah Strata-2 nya, saya pun pernah merasakan demikian (tapi tentu yang lebih keren dia lah, hihi). Waktu itu terjadi diskusi antara saya dan papah. Apakah mau melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) atau memilih untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Menurut papah, jika saya menempuh pendidikan di SMK, sudah pasti akan mendapatkan pembelajaran mengenai “Keahlian dan Keterampilan” kerja, dan menurut kedua orang tua saya, hal itu adalah nilai plus karena mendapatkan pengalaman kerja. Sedangkan jika melanjutkan ke SMA, tentu fase kuliah juga akan saya jalani. Sedang waktu itu, kondisi keluarga bisa dibilang perlu biaya banyak. Sempat bimbang dengan kedua hal tersebut, hingga akhirnya papah bercerita tentang “sebuah sekolah gratis”.

Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) adalah “sekolah gratis” yang papah maksudkan. Sebuah perguruan tinggi kedinasan program D-IV yang dikelola oleh Badan Pusat Statistik. Pada saat itu detail tentang STIS saya belum tahu banyak. Yang ada dalam benak saya “Inilah sekolah yang saya cari”. Bisa melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi dan bonusnya adalah free biaya. Woww seru ya. Oleh sebab itu saya akhirnya dengan sangat yakin memilih SMA sebagai sekolah lanjutan saya, dan berusaha belajar sebaik mungkin guna memenuhi persyaratan agar bisa mengikuti seleksi masuk STIS.

STIS, SEKOLAH GRATIS YANG MENGGODA
Salah satu syarat mutlak masuk di STIS adalah siswa dari SMA yang mengambil jurusan IPA dan memenuhi persyaratan minimal nilai pada mata pelajaran tertentu. Dengan kerja keras selama 3 tahun, saya akhirnya bisa lulus dan lebih membahagiakan lagi bahwa nilai yang saya dapat dari ujian akhir bisa saya gunakan untuk mendaftar ujian masuk seleksi STIS pada saat itu. 

Seperti kata pepatah “Sehebat apapun kita merencanakan sesuatu, tapi takdir Tuhan adalah sebaik-baik rencana”. Itulah yang terjadi pada diri saya. Persiapan selama kurang lebih 3 tahun sejak pengumuman kelulusan di SMP, ikhtiar belajar sungguh-sungguh demi mendapatkan nilai mata pelajaran agar bisa memenuhi standar penerimaan di STIS, ternyata hilang begitu saja. Di hari pengumuman kelulusan ujian masuk STIS, nama saya tidak tercantum di daftar kelulusan. Sedih sekali waktu itu sampai tak bisa menangis karena terlampau sedih (Hihihi, agak lebay tapi memang itu yang terjadi). Tapi begitulah, saya memang terdidik sebagai seorang anak yang tidak gampang kecewa terlampau lama. Selalu berusaha berpositif thinking atas segala kejadian yang diberikan Allah. Saya anggap mungkin belum rezeki.

https://bobo.grid.id/read/08679659/

Hari berganti hari, selama 1 tahun saya bisa dibilang dalam kondisi “menjadi pengangguran”. Saya tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan kuliah setelah gagal di STIS karena waktu pendaftaran kuliah, kampus di kota saya sudah tutup. Namun di sela waktu itu, ada saja kesempatan untuk mengikuti seleksi penerimaan PNS (Saya pernah mendaftar PNS di instansi pemerintah kota, namun ditolak bahkan sedikit mendapat perlakuan yang tidak “pas” menurut saya waktu itu). Karena usia saya saat itu masih muda, belum genap 18 tahun, saya ditolak oleh panitia penerimaan bahkan sempat “diolok-olok” mereka. “Waduh, masih kecil kok udah daftar jadi pegawai”. Kesal, jengkel, malu, campur aduk semua saat itu (secara saya ikut antri panjang demi mendaftar, ternyata tidak lolos juga). Tapi saya tidak menyerah sih. Sampai akhirnya BPS kembali membuka seleksi penerimaan pegawai.

Nah, apakah saya diterima untuk mengikuti seleksi kembali? Cerita apa dibalik menjadi mahasiwa 6 bulan di STAIN Samarinda? Tunggu kelanjutannya di part 2.

#ODOP7 #KelasNonFiksi #Kisah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#126# AKHIR PERJALANAN (Travelling ke Kalsel - Part 7)

#119# "TRAVELLING" KE KALIMANTAN SELATAN (Part 2 - Rainy's Day Literari Festival)

#117# DIBANGUNIN SAMA BANTAL