#183# BUKU PUISI HASAN ASPAHANI “A Fairy’s Veil MAHNA HAURI”
Judul
: A Fairy’s Veil Mahna Hauri
Penulis
: Hasan Aspahani
Penerbit
: Koekoesan
Cetakan
: Pertama Juni 2012
Tebal
: 127 + xvi halaman
ISBN
: 978-979-1442-58-9
Hasan
Aspahani, adalah seorang penyair yang lahir pada tanggal 9 Maret 1971 di sebuah
kabupaten di provinsi Kalimantan Timur yakni Kabupaten Kutai Kartanegara. Kali
ini Hasan Aspahani, kembali membuat gebrakan baru pada karyanya. Salah satu
buku puisi karyanya yang berjudul “a Fairy’s
Veil MAHNA HAURI”, menurut saya adalah buku puisi yang unik dan berbeda
dari karya-karya beliau yang selama ini saya ketahui. Sebut saja 3 buku karya
beliau yang saya miliki yakni Luka Mata, Lelaki Yang Dicintai Bidadari, dan
Duka Manis. Perbedaan itu sangat tampak sekali dalam penyajian. Mahna Hauri
tampil dalam dua Bahasa, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Buku
puisi yang dihias dengan cover buku dominan berwarna hijau, dengan beberapa
gambar yang menurut saya banyak menyimpan makna dan untuk memaknainya perlu
usaha yang sangat keras. Mungkin Hasan Aspahani ingin memberi pesan lewat cover
bukunya yang sudah sarat nilai ini. Akan kita temukan beberapa gambar yang
mungkin tidak biasa, seperti gambar beberapa ekor kura-kura yang berada di
langit seolah terbang, cermin-cermin yang tergantung di beberapa bagian pohon,
seorang yang dicukur rambutnya menghadap cermin yang retak dan masih ada
beberapa gambar lain yang menyimpan makna. Disinilah salah satu kelebihan dari
seorang Hasan Aspahani dalam “menghias” karyanya dengan cover yang luar biasa
ini.
Kita
sebagai penikmat karya beliau akan dimanjakan dengan 77 puisi yang disajikan
dalam Bahasa Indonesia (terletak di halaman sebelah kiri buku) dan Bahasa
Inggris (disajikan di halaman sebelah kanan buku), secara berdampingan. 77
Puisi ini dibagi dalam 3 Bab dengan tema yang berbeda. Bab I dengan tema yang
berjudul “Beberapa Bait Rambut”, Bab II dengan Tema yang berjudul “Beberapa
Helai Fabel”, dan yang terakhir pada Bab III dengan tema yang berjudul “Kita
pun Bertukar Sebelah Sepatu”.
Puisi-puisi
Hasan Aspahani terkadang membawa pesan sosial. Kalimat-kalimat yang sederhana
namun dibahasakan penuh makna membuat karya-karyanya menjadi berbeda dimata
saya. Seperti pada salah satu puisinya yang berjudul “Kisah Sungai Rambut”.
KISAH SUNGAI RAMBUT
Tak pernah ada yang bertanya kenapa
sungai itu diberi nama Sungai Rambut. Padahal nama Sungai cukur mungkin lebih
tepat. Sebab di sepanjang tepian sungai itu dulu berjejer kedai-kedai pangkas
rambut alias kios tukang cukur.
Waktu kecil saya selalu dibawa ayah
bercukur di sana. Favorit Ayah adalah kios pak Cukur., seorang tukang cukur
tua. Dia sendiri tak tahu berapa usianya. Kalau ditanya dia hanya menjawab, “Saya
lahir ketika sungai ini masih jernih.Mengalir deras di musim kemarau dan tidak
meluap di musim hujan. Waktu bocah saya mandi bahkan minum langsung dari sungai
ini.
Kalau sedang dicukur saya suka
memandang air yang mengalir di Sungai Rambut. Airnya hitam seperti rambut saya.
Saya tak bisa membayangkan ada bocah mau berenang di sana.
Puisi
ini menggambarkan tentang sebuah situasi kondisi lingkungan yang tercemar. Alam
yang awalnya menjadi sumber kehidupan, namun karena ulah manusia menjadi rusak
dan tak membawa manfaat bahkan memberi musibah. Inilah “kehebatan” seorang
Hasan Aspahani dalam menyampaikan “keluh kesahnya” dalam bait-bait puisi.
Ada
lagi salah satu puisinya yang berjudul “Aku Menggambar Teman-temanku” yang
menceritakan tentang beragam kejadian di sekitar kita. Seperti pada puisi ini :
Aku menggambar Samsul dan ayahnya
yang suka menebang pohon di gunung, dan gunung sekarang jadi tak berhutan lagi.
Ayah Samsul sekarang tak menebang pohon lagi. Karena tidak ada pohon yang bisa
ditebang lagi.
Aku menggambar Usman yang rumahnya
jauh dari sekolah sehingga sejak subuh dia sudah berjalan agar tidak terlambat
waktu sampai ke sekolah. Usman sering tidak masuk sekolah. Kalau hujan jalan
yang ditempuh Usman tergenang, basah dan becek.
Bait
puisi di bait pertama secara tersirat ingin menceritakan tentang keadaan hutan
yang sudah gersang dan gundul, karena penebangan liar. Sedangkan puisi di bait
kedua bercerita tentang kondisi seorang anak yang belum bisa mendapatkan haknya
dalam pendidikan secara baik, dikarenakan keadaan lingkungan.
Dengan
disajikan dalam dua bahasa, pembaca tidak hanya akan merasa karya ini karya
biasa, namun justru sebaliknya. Kita tidak hanya akan mendapatkan kesempatan
untuk memaknai dalam bahasa kita sendiri, namun juga akan menambah pengetahuan
berbahasa asing lewat karya beliau.
Komentar
Posting Komentar