#18# NAMAKU GAZA

Akhirnya, aku menghentikan sepeda motorku di sebuah pelataran mushalla dekat masjid Kampus. Hujan memaksaku untuk sejenak berteduh disini. Terlampau deras, baju yang ku kenakan sudah basah sekali dibuatnya. Aku menggigil kedinginan. Kemudian ada seorang mahasiswi berjilbab mendekatiku. 

 “Assalamualaikum, maaf sepertinya kamu kehujanan, pakaianmu basah sekali, gantilah dulu, biar tidak masuk angin,” dia menawarkan padaku sebuah baju untuk kupakai. 

“Wa’alaikumsalam, oh terima kasih, tidak usah sebentar lagi hujan pasti reda, saat itu saya akan segera pulang saja,” aku menolak secara perlahan. 

“Jangan ukhti, daripada kamu sakit nantinya, tidak apa-apa, ini baju bersih kok, baru saya ambil dari lemari saya, tadinya saya membawa dari rumah untuk salinan, karena saya berniat untuk ke rumah saudara, ternyata hujan memaksa saya membatalkannya, sekarang lebih baik kamu pakai saja baju ini.” Karena memang sangat kedinginan, akhirnya aku terima tawarannya. 

Segera aku ke toilet untuk mengganti pakaianku. “Alhamdulillah, bajunya pas sekali, terima kasih, insya Allah setelah saya cuci saya akan kembalikan lagi padamu.” Dia tersenyum padaku. 
 Aku memperkenalkan siapa namaku, “Saya Aisyah, tapi panggil Icha saja , nama kamu siapa?” tanyaku pada mahasiswi berjilbab itu, “Panggil saja saya Gaza,” mendengar namanya serasa tidak asing dengan nama itu, Gaza, seperti nama sebuah daerah, aku membatin. 

Sejenak kemudian kami terlibat dalam sebuah pembicaraan. Aku tertarik dengan sebuah kertas yang dia bawa dalam tumpukan buku-buku miliknya. Iseng aku bertanya. “Maaf, ini seperti undangan konser musik ya, boleh saya melihatnya?” tanyaku penasaran, karena begitu banyak kertas itu dibawa olehnya. “Oh iya, boleh ini saya beri untuk kamu, barangkali ukhti nanti mau turut hadir, dipersilakan.” Jelasnya padaku. UNDANGAN KONSER KEMANUSIAAN PALESTINA DAN DONASI FOR PALESTINA. 

Aku agak bingung dengan undangan itu, mengapa ada konser kemanusiaan disini. Aku memang penggemar musik, setiap ada konser, hampir selalu hadir. Namun kali ini konser kemanusiaan untuk Palestina, hei.. khan jauh sekali Palestina dengan Indonesia, kemudian yang menjadi pengisi acara juga dari Indonesia, aku kenal sih walau tidak mengidolakan mereka. 

 “Gaza, kenapa di Indonesia mengadakan konser kemanusiaan Palestina? Bukannya Palestina sekarang sedang perang ya dengan Israel, lagian negara mereka kan jauh dari Indonesia,” aku tangkap mimik wajah agak terkejut ketika mendengar pernyataanku. Tapi memang begitu kenyataannya kok. 

“Icha, saya akan jelaskan setelah kamu hadir di konser ini ya, datanglah bersama saya, setelah itu saya janji akan menjawab pertanyaanmu.” Hanya menjawab sesimple itu, dan aku masih dengan kebingunganku. Hujan sudah reda, aku bersegera pamit pulang. 

Keesokan harinya, setelah berjanji untuk datang bersama dalam konser kemanusiaan akhirnya kami sampai juga di tempat acara. Dipenuhi dengan wanita berjilbab dan laki-laki yang dari style mereka memang terlihat agamis sekali, hampir semua menggunakan kopiah dan di leher mereka dihiasi dengan syal dan aksesoris berbau Palestina, begitu pula dengan wanitanya. 

Aku masih heran dengan ini semua. Acara segera dimulai, mula-mula aku mendengar semacam tausyiah yang disampaikan oleh pengisi acara, semua menyatakan bahwa Palestina adalah saudara kami juga, yang mereka rela mengorbankan nyawa mereka untuk mempertahankan masjid Al Aqsa yang pernah menjadi kiblat pertama umat islam. 

 “Inilah jawaban dari pertanyaanmu kemarin Icha, mengapa konser ini dilaksanakan, karena sebagai bukti kecintaan kita juga terhadap umat islam, memang mereka jauh di pandangan mata kita, namun mereka adalah orang-orang hebat yang telah ditakdirkan Allah untuk menjadi mujahid dan mujahidah disana. Bagi mereka, apa yang mereka bela bukanlah sebuah kesia-siaan, namun menjadi tanggung jawab dari apa yang telah diamanahkan Allah kepada mereka. Kita memang jauh dari mereka, namun jangan sampai kita melupakan saudara-saudara kita disana, apakah kita mampu membantu mereka dengan turut berperang? Mungkin hanya sebagian yang memiliki nyali, tapi dengan mengadakan hal seperti ini, semoga ini dapat dicatat Allah sebagai perjuangan kita membela agama dalam bentuk yang berbeda. Mengumpulkan donasi buat mereka harapannya bisa membantu mereka.” 

Penjelasan Gaza membuat ku terharu, tanpa terasa aku meneteskan air mata, terlebih saat mendengar seorang penyanyi perempuan membawakan sebuah lagu dengan suara yang sangat merdu, liriknya menceritakan tentang kondisi disana. Sebuah video yang diputar, semakin membuat aku menjadi cengeng sekali. Aku dan Gaza sama-sama terisak, bahkan kami sampai berpelukan karena melihat anak-anak dalam video itu terluka karena terkena tembakan peluru dan lemparan bom. 

 “Gaza, kau lihat seorang anak itu, dia menantang tentara sepertinya membawa sesuatu, apa itu yang ada dalam genggaman tangannya?” tanyaku. “Itu adalah batu Icha, setiap anak disana tiada merasa takut dengan dentuman bom, lesatan peluru, bagi mereka menjadi syahid adalah cita-cita mereka.” 

Penjelasan Gaza sangat membuatku merasakan sesuatu yang aneh luar biasa. “Gaza, namamu dan nama daerah disana ada kemiripan, kenapa orang tuamu memberi nama Gaza?” 

“Dulu, ayahku adalah seorang relawan dari sebuah organisasi kemanusiaan, saat terjadi agresi militer yang dilancarkan Israel, ayah berangkat, saat itu ibu sedang mengandung aku, saat hari kelahiranku, ibu mendengar kabar bahwa ayah meninggal dunia saat hendak menolong anak yang terkena peluru, saat ayah hendak membawanya ke tempat yang aman, ada seorang tentara yang menembaknya, ayah belum sempat diselamatkan, namun ayah sempat berpesan pada kawannya untuk memberitahukan kepada ibu, agar memberiku nama Gaza. Kata Ibu, Gaza itu artinya kuat, harapan mereka agar aku menjadi anak yang kuat, yang juga turut peduli dengan keadaan sesama muslim. 

Itulah kenapa aku begitu concern dengan acara ini dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Palestina, ada ikatan batin antara aku dan Palestina, yaitu ayahku.” Gaza mengakhiri penjelasannya. Sekarang aku paham, tanpa sepengetahuan Gaza, aku melepaskan sebuah cincin emas pemberian ibu saat aku ulang tahun 2 tahun yang lalu. “Ini untukmu Saudara-saudaraku di Palestina.” 

Kisah ini saya tulis dalam rangka mengikuti event menulis yang diadakan sebuah penerbit Indie bernama "PENA INDHIS". Alhamdulillah masuk sebagai salah satu kontributornya, dan buku tersebut juga hasil keuntungannya disumbangkan sebagai donasi untuk saudara-saudara kita di Palestina.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#126# AKHIR PERJALANAN (Travelling ke Kalsel - Part 7)

#119# "TRAVELLING" KE KALIMANTAN SELATAN (Part 2 - Rainy's Day Literari Festival)

#117# DIBANGUNIN SAMA BANTAL